Penunjuk Waktu

Minggu, 07 Agustus 2011

Cerita SMA

Part I.

Sore itu sekolah sudah sepi, semua anak sudah pulang ke rumah masing-masing sejak jam pelajaran selesai. Hanya dua anak laki-laki yang tampak asyik bermain basket di lapangan basket sekolah yang tersisa. Tanpa peduli dengan baju sekolah mereka sudah basah kuyup karena keringat, Tio dan Bagas masih asyik saling lempar bola dan bergantian memasukkannya ke dalam ring.

”Udahan yu Gas, gue ada les nih ntar malam, udah mau jam5 nih.” Tio melempar bola ke arah Bagas, dan berjalan mengambil tas sekolah mereka yang di letakkan sembarangan di pinggir lapangan.

Bagas menangkap bola dan mengikuti langkah temannya dan mengambil tas ranselnya. Mereka berjalan ke tempat parkir, tapi tiba-tiba Bagas menghentikan langkahnya,

”Eh, lo duluan aja, gue kebelet nih.” kata Bagas pada Tio.

”Ya udah, gue duluan ya.” sahut Tio seraya menyalakan mesin motornya, dan berlalu meninggalkan Bagas.

Bagas berjalan ke arah toilet yang tak jauh dari tempat parkir sambil terus medrible bola basketnya. Setelah keluar dari toilet sayup-sayup Bagas mendengar suara tangisan yang sepertinya berasal dari toilet perempuan. Bagas penasaran dan berjalan mencari arah suara tersebut. Dengan ragu Bagas masuk ke dalam toilet perempuan, awalnya dia takut masuk ke dalam, tapi karena sangat penasaran dia memutuskan untuk tetap masuk. Bagas meneliti setiap ruang, dan alangkah terkejutnya saat pintu ke-3 dia melihat seorang cewek yang sedang menangis tersedu-sedu dengan mata sembabnya, dan juga tampak terkejut dengan kehadiran Bagas. Bagas mengenal cewek itu, dia Laras, teman sekelasnya, walaupun tidak terlalu dekat tapi Bagas tahu dia salah satu cewek yang pintar di kelasnya. Laras sangat terkejut melihat kedatangan Bagas dengan cepat dia menyembunyikan sebuah testpack dalam genggamannya, tapi sebenarnya Bagas sudah melihatnya sebelum Laras sempat menyembunyikannya. Tapi untuk menghargai Laras, Bagas pura-pura tidak tahu dan membantu Laras bangun dan membawanya keluar dari toilet itu. Laras memang sudah sangat lemas, sudah berjam-jam dia mengurung diri menangis di dalam sana. Dia sangat terpukul dengan kenyataan yang harus dihadapinya, tidak sanggup menanggung semuanya. Dia baru berumur 15 tahun dan dia hamil. Laras adalah anak satu-satunya, dia sangat pintar, sejak SD nilainya selalu di atas rata-rata, bahkan sampai SMA sekarang dia selalu dapat beasiswa. Selain pintar dia sangat cantik, dengan wajah oriental seperti pemain-pemain drama korea, dan senyum yang sangat menawan, sekali melihat saja cowok bisa langsung terpikat dengannya. Laras juga selalu menjadi duta sekolah dalam berbagai lomba, dan dia selalu membuktikan bahwa tidak salah pihak sekolah percaya padanya, dia pasti pulang dengan membawa piala yang menjadi kebanggaan sekolah. Bagas pun tidak mengelak, bahwa dia sangat tertarik pada gadis itu, tapi sayangnya Laras tidak tertarik dengan semua cowok yang ada di sekolahnya, dia sudah memiliki seorang pacar yang selalu setia menjemputnya sepulang sekolah. Kabarnya cowok itu adalah seorang mahasiswa dari universitas kedokteran. Sejak mengetahui hal itu, Bagas pun mundur teratur. Tapi melihat gadis cantik itu terduduk lemas dengan mata sembab, Bagas tidak bisa membiarkannya begitu saja. Laras pun tidak punya tenaga untuk menolak, dia membiarkan tubuh lemahnya dibimbing Bagas yang mempunyai badan tegap dan atletis itu keluar dari toilet dan mendudukkannya di bangku panjang yang ada di tiap-tiap depan kelas.

”Lo nggak kenapa-kenapa kan?” tanya Bagas dengan ragu.

Laras hanya menggeleng, dan tertunduk lesu.

”Lo mau gue antar pulang?” tanya Bagas lagi.

Laras hanya menggeleng. ”Makasih ya. Lo kalau mau pulang, pulang aja, gue bisa pulang sendiri.” sambungnya dengan suara lemah dan masih bergetar, seolah menahan tangisnya yang akan pecah lagi.

”Gue mau nemenin lo disini boleh?” tanya Bagas lagi, sangat terlihat jelas dia sangat khawatir pada gadis itu.

“Nggak usah, gue bisa sendiri.” sahut Laras yang masih menunduk menyembunyikan wajahnya yang sudah sangat kacau. Hal ini membuatnya sangat terpukul, dia sangat bingung apa yang selanjutnya akan dia lakukan, dia pasti sudah menegecewakan banyak orang. Laras berusaha kuat menahan tangisnya, tapi sayang dia gagal, dia kembali menangis. Bagas yang masih duduk disampingnya hanya bisa terdiam menunggu sampai tangis gadis itu habis.

”Misi Mas, Neng, mamang mau nutup pager sekolah, lagian harinya kan udah mau gelap, jadi mending kalian pulang deh, ntar di cari’in ibu sama bapaknya lo.” ujar mang imin, mang imin adalah seorang penjaga sekolah di SMA PELITA, dia orang yang sangat ramah dan menjadi idola semua murid disana.

Bagas melirik jam tangannya, dan memang benar sudah hampir jam6. ”Oh iya mang, ini kami mau pulang, yuk Ras.” Bagas membimbing tubuh Laras yang masih lemas ke arah motornya.

”Yuk naik, gue antar pulang yah.” ajak Bagas.

”Gue pulang sendiri aja, makasih ya.” laras menolaknya dan berjalan dengan langkah yang sempoyongan. 

Bagas turun dari motornya dan menarik tangan Laras dan menyuruhnya naik keatas motornya. Laras akhirnya menyerah, dan menerima ajakan Bagas.

”Lo pengangan yang kuat di pinggang gue, gue takut lo jatoh, gue nggak akan ngebut lo tenang aja.” Bagas melingkarkan tangan cewek itu di pinggangnya, Laras sempat menolak, ”Lo tenang aja, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo.” ujar Bagas lagi, dia takut Laras salah paham dan menganggapnya mengambil kesempatan.

Bagas menjalankan motornya dengan pelan, membuat Laras tenang dan menyandarkan kepalanya di punggung Bagas dan tangis Laras kembali pecah, kenapa di saat seperti ini justru cowok yang bukan siapa-siapanya dia yang malah sangat perhatian padanya, sementara cowok yang selama ini bilang bahwa selalu sayang padanya dan membuatnya begini, seolah menghilang dari muka bumi ini. Bagas bisa merasakan gadis yang sedang diboncengnya itu menangis.

”Ras, rumah lo dimana?”

”Di Permata Sari 4, tapi, gue nggak mungkin pulang dengan keadaan kaya gini.” Sahut Laras.

“Trus gimana? Em, lo pasti laper kita makan dulu yah.” Mereka berhenti di depan penjual bakso, dan memesan dua mangkok bakso. Pesanan mereka pun tiba. Bagas yang memang sedang kelaparan, memakan bakso itu dengan lahap, sementara Laras hanya memain-mainkan sendoknya, dan sesekali memandang kearah Bagas dan tersenyum kecil melihat bagaimana cara anak itu makan.

”Heh, lo ngetawain gue yah?” tanya Bagas yang masih asyik dengan baksonya, dia tahu sedari tadi Laras memerhatikannya.

Laras hanya tersenyum kecil. ”lo sendiri kenapa nggak makan? Nggak suka bakso? Nggak bisa makan bakso? Ato lo terpana sama kecakepan gue yang baru lo sadari sekarang sampe lo nggak bisa makan tu bakso?” tanya Bagas lagi.

Laras hanya tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan Bagas tadi.

”Nah, gitu dong, lo manis kalau senyum.” sambung Bagas.

”Lo gombal juga yah ternyata.” sahut Laras dan mulai memakan baksonya.

”Tapi benerkan gue cakep?” tanyanya lagi sambil nyegir, Laras hanya menggeleng dan tertawa kecil.

Setelah makan, Bagas membawanya ke sebuah taman kecil tidak jauh dari penjual bakso tadi. Mereka duduk di sebuah kursi taman. Laras menyandarkan punggungnya dan memandang langit. Bagas bisa merasakan bahwa perasaan gadis itu jauh lebih tenang dari sebelumnya.

”Gimana? Kenyang?” tanya Bagas.

”Banget, makasih ya.” sahut Laras.

”Nyokap bokap lo ga nyariin lo?” tanya bagas lagi.

”Handphone gue mati, lagian paling mereka nggak ada di rumah. Mereka sibuk sama kerjaan mereka.” Sahut Laras yang masih tidak mengalihkan pandangannya.

”Lo suka bintang?” Bagas mengikuti arah pandangan gadis itu.

”Iya, mereka cantik, bikin malam yang gelap jadi lebih bercahaya. Mereka juga banyak, pasti nggak kesepian kalau jadi mereka.” Suara laras terdengar kembali bergetar. ”Gas, makasih ya, lo udah nolongin gue,  gue nggak tau kalau nggak ada lo gue bakal jadi apa tadi. Gue kira lo orangnya cuek ternyata lo care juga.” Laras mengalihkan pandangannya kearah bagas, bagas langsung salah tingkah di pandangin gadis cantik itu.

”Gue kan temen lo, masa gue tega ngebiarin lo.” Sahut bagas.

“Gas, lo tadi liat?” tanya Laras dengan suara pelan.

”Liat apa?”

”Yang gue sembunyiin di toilet?” suara Laras terdengar mulai bergetar.

Bagas bingung harus ngejawab apa, pura-pura tidak tahu tapi dia sangat ingin melindungi gadis itu. Bagas akhirnya mengangguk. Dan tangis Laras pun pecah. Bagas memeluk gadis itu dan membiarkannya menangis di bahunya. Walaupun tidak tahu persis bagaimana perasaan Laras saat ini tapi, dia bisa merasakan rasa sakit, kecewa, putus asa dan rasa sepi yang luar biasa sedang dirasakan gadis itu. Bagas teringat kejadian yang sama menimpa kakaknya 2 tahun lalu. Dia sangat takut melihat bagaimana orang tuanya sangat marah begitu mengethaui kakak perempuannya itu hamil di luar nikah, dan betapa menderitanya kakaknya saat harus menanggung semuanya sendiri. Cowok brengsek yang menhamili kakaknya itu lari dari tanggung jawabnya. 

Betapa hancurnya hatinya saat melihat kakaknya menangis di hadapannya. Dan sekarang hal yang sama terjadi, seorang cewek yang selama ini di sukainya sedang menangis di pelukannya karena hal yang sama. Malam semakin larut, bagas mengantarkan  Laras pulang tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulut gadis itu. Bagas sangat mengerti apa yang Laras rasakan, dia memutuskan untuk tidak mengganggu Laras.

”Ras, gue pulang dulu, lo bisa percaya sama gue. Lo ga perlu takut, gue janji selalu ada buat lo.” Bagas menyalakn motornya dan berlalu meninggalkan Laras dengan tangisnya, dan masih berusaha mencerna kata-kata cowok yang sepanjang sore hingga malam tadi menemaninya, berusaha membuatnya tertawa, dan menjanjikan untuk selalu ada buat dia.

....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar